PARADIGMA #5 ‘Critical Thinking’ : Sudahkah Kita Merdeka Dalam Berpikir
Kanda Muhammad Faisal Tanjung, S.T.
Kamis, 20 Mei 2021
Pada dasarnya seruan atau ajaran untuk berpikir kritis sudah ada sejak zaman dahulu. Bahkan di dalam islam, ajaran pertama dari Tuhan adalah ajaran untuk membaca, ajaran untuk berpikir dan ajaran untuk menganalisis. Sehingga tugas pertama kita sebagai manusia ialah berpikir. Dalam sejarah, lahirnya sebuah agama pada dasarnya bermula dari pemikiran-pemikiran dari kaum jahiliah, sehingga kemudian orang-orang pada zaman itu mulai berpikir untuk keluar dari zaman yang penuh kebodohan itu.
Jika melihat juga pada sejarah nasional indonesia, pikiran-pikiran kritis ini kemudian melahirkan banyak perubahan, yang mana dimulai dari masa penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Selama masa penjajahan, penduduk Indonesia mendapatkan banyak keuntungan, salah satunya yaitu kesempatan untuk bersekolah. Namun pada saat itu, kaum bangsawan melihat ada segelintir penduduk pribumi yang justru mendapat perlakuan tidak manusiawi oleh para penjajah sehingga lahirlah pemikiran untuk memberantas hal tersebut. Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya Budi Utomo. Pada saat itu, pemikiran-pemikiran kritis justru dimiliki oleh kaum tua, karena pemuda belum diberikan ruang untuk bisa secara berbas berpikir dan menyuarakan pendapatnya. Sehingga pada tahun 1928 muncullah peristiwa sumpah pemuda karena kaum pemuda merasa perlu memegang peranan dalam tatanan kehidupan berbangsa. Peristiwa Sumpah pemuda pada tahun 1929 dan peristiwa Rengasdengklok yang terjadi satu hari sebelum kemerdekaan, memperlihatkan bagaimana besarnya peranan dari pemikiran kritis pemuda. Pemikiran-pemikiran kritis kaum pemuda terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh oknum petinggi negara juga dapat dilihat pada peristiwa 1998 reformasi.
Berdasarkan sejarah lahirnya agama, dan kebangkitan nasional, hingga hari ini dapat dilihat bahwa pikiran kritis menjadi pamong dalam perubahan. Pemuda menjadi role model dalam mencapai perubahan tatanan kehidupan berbangsa. Hal ini relevan dengan salah satu peran pemuda yakni sebagai social kontrol. Sejarah-sejarah yang ada menjadi bukti betapa pentingnya pemikiran kritis dalam mempengaruhi kehidupan.
Sistem pendidikan yang berjalan saat ini merupakan system yang diadopsi dari metode pembelajaran yang diterapkan oleh Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan. Dimana system ini memberikan ruang seluas-luasnya kepada pelajar untuk berpikir secara bebas, turun dan berinteraksi dengan alam dan sosial dan menemukan solusi atas permasalahan yang mereka temui selama proses pembelajaran. Ini memperlihatkan bahwa, bahkan sejak awal, system pendidikan kita sudah menitik beratkan pada ajakan untuk berpikir kritis. Yang menjadi pertanyaan adalah, Masihkah pikiran-pikiran kritis itu ada? Apakah kita masih merdeka dalam berpikir ?
Untuk menilai hal tersebut, terdapat indikator-indikator yang dijadikan acuan. Indikator yang dimaksudkan merupakan hal yang kompleks karena perlu dilihat dari berbagai macam sudaut pandang. Poin pertama, untuk membangun pemikiran kritis harus dilandasi dengan litersi yang kuat. Namum persoalanya, bagaimana bisa menumbuhkan pikiran kritis ketika budaya literasi masih sangat kurang di Indonesia. Berbagai survey menyebutkan bahwa, minat litersai bangsa Indonesia hanya 0.001% yang artinya hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat terhadap literasi. Bahkan berdasarkan data dari UNESCO, diantara 61 negara berkembang, Indonesia berada di urutan ke 60. Inilah kondisi minat literasi para pemuda pada hari ini. inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa masih kurang pemuda di Indonesia yang mampu berpikir secara kritis, sebab berpikir kruitis perlu melihat sesuatu dari banyak sudut pandang.
Apa yang kita lakukan saat ini merupakan salah satu kegiatan berliterasi, diskusi merupakan bagian dari kegiatan berliterasi. Namun seringkali diskusi hanya dijadikan kegiatan seremonial belaka. Sehingga perlu mencari cara-cara lain yang dapat meningkatkan budaya literasi.
Mengapa budaya literasi penting dalam menumbuhkan pemikiran kritis ?
Berpikir kritis berarti kita melihat berbagai hal dari berbagai sudut pandang. Artinya ketika seseorang mencoba berpikir dan mengutarakan pemikirannya tanpa diikuti dengan literasi yang kuat, maka pemikiran tersebut akan terbatas dan berujung pada kesalahan interpretasi pada suatu hal. Ini juga berhubungan dengan keikutsertaan kaum pemuda untuk mempertanyakan atau memperdebatkan sebuah kebijakan yang dikeluarkan baik pemerintah maupun instansi. Dalam melakukan penentangan ataupun perdebatan terkait kebijakan-kebijakan ini perlu adanya referensi yang kuat dan relevan. Namun realitasnya, pemuda sekarang sering melakukan koreksi berbagai kebijakan tanpa memiliki data-data relevan yang bisa dijadikan pendukung dalam berargumen.
Menggaungkan kembali budaya literasi sama pentingnya dengan mengajak kaum pemuda untuk berpikir kritis.